Bupot PPh 21 Harus Cantumkan NPWP-NIK, Coretax Rekam Profil Risiko WP

, 24 27-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow

JAKARTA, DDTCNews - Bukti potong PPh Pasal 21 harus mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK). Ketentuan ini menyusul dirilisnya e-Bupot 21/26 untuk memfasilitas pembuatan bukti potong PPh Pasal 21/26 sesuai dengan ketentuan terbaru. Topik ini mendapat sorotan cukup banyak dari warganet selama sepekan terakhir.  Aplikasi e-Bupot 21/26 tidak memungkinkan pemotong pajak untuk untuk membuat bukti potong PPh Pasal 21 atas pemberian penghasilan kepada orang pribadi yang tidak memiliki NPWP. Kalaupun orang pribadi penerima penghasilan memang tidak memiliki NPWP, pemotong pajak harus mencantumkan NIK dari orang pribadi tersebut. "Kolom NIK ini wajib diisi jika penerima penghasilan yang dipotong tidak memiliki NPWP," tulis DJP dalam buku Petunjuk Penggunaan Aplikasi e-Bupot 21/26. Tak hanya mencantumkan NIK, pemotong pajak juga perlu mengisi nama dan alamat dari wajib pajak orang pribadi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP tersebut. Nama dan alamat harus diisi lengkap sesuai dengan yang tertera di KTP. Dalam petunjuk pengisian yang tercantum pada laman ebupot2126.pajak.go.id/bupot/rekam-21 juga telah ditegaskan bahwa bukti potong harus mencantumkan NPWP atau NIK dari wajib pajak orang pribadi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. Dengan adanya fitur untuk mencantum NIK dalam bukti potong PPh Pasal 21, pemotong pajak tidak lagi dimungkinkan untuk mengenakan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% atas orang pribadi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP. Baca artikel lengkapnya, 'Bukti Potong PPh 21 Harus Cantumkan NPWP atau NIK, Tidak Boleh Kosong'. Topik selanjutnya, mengenai implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system.  Kehadiran coretax administration system akan mendukung pelaksanaan pengawasan wajib pajak berdasarkan profil risiko individual dari setiap wajib pajak pada sektor tertentu. Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan data yang diterima dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) akan diolah oleh sistem guna menghasilkan profil risiko individu pada setiap sektor. "Setelah data terkumpul baru kami dudukkan, perlukah sektor ini dilakukan pendalaman, pengawasan, pemeriksaan, atau segala macam. Makin banyak data dan informasi bisa kami capture, itu akan lebih memudahkan sistem ini beroperasi," katanya. Sejak UU 9/2017 berlaku, lanjut Suryo, DJP diberikan kemudahan untuk memperoleh akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Untuk memperoleh data transaksi, DJP lebih mengandalkan data pemotongan/pemungutan pajak. "Kami banyak menggunakan modus pemungutan pajak lewat pihak lain. PPh Pasal 21 karyawan itu kami bisa dapat informasi mengenai siapa pemungut, siapa yang dipungut. PPh Pasal 22 misalnya, transaksi antara 2 entitas. Itu dilaporkan ke kami," ujarnya. Baca artikel lengkapnya, 'DJP: Coretax Bakal Potret Profil Risiko WP Berdasarkan 2 Data Ini'. Selain 2 topik di atas, masih ada sejumlah pemberitaan perpajakan populer yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, ulasan lebih lengkap soal e-Bupot 21/26, update pelaporan SPT Tahunan, hingga adanya update aplikasi e-form.  PER-2/PJ/2024 memuat ketentuan penyampaian 3 jenis bukti pemotongan (bupot) untuk masa pajak Januari 2024 dari pemotong pajak kepada penerima penghasilan. Ketiga jenis bupot yang dimaksud adalah bupot PPh Pasal 21 yang tidak bersifat final atau PPh Pasal 26 (Formulir 1721-VI); bupot PPh Pasal 21 yang bersifat final (Formulir 1721-VII); dan bupot PPh Pasal 21 bulanan (Formulir 1721-VIII). “Untuk masa pajak Januari 2024, pemotong pajak dapat memberikan … kepada penerima penghasilan paling lambat pada tanggal 31 Maret 2024,” bunyi penggalan Pasal 12 PER-2/PJ/2024. DJP telah merilis aplikasi e-Bupot 21/26. Aplikasi tersebut dapat diakses melalui DJP Online atau laman ebupot2126.pajak.go.id. DJP merilis aplikasi e-Bupot 21/26 sebagai tindak lanjut dari terbitnya Perdirjen Pajak No. PER-2/PJ/2024. Melalui PER-2/PJ/2024, DJP mengatur ulang ketentuan bukti potong (bupot) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21/26 serta SPT Masa PPh Pasal 21/26. Adapun bupot PPh Pasal 21/26 serta SPT Masa PPh 21/26 tersebut dibuat melalui aplikasi yang telah disediakan DJP. “Bupot PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik dibuat menggunakan aplikasi e-Bupot 21/26 yang telah disediakan oleh DJP,” bunyi Pasal 6 ayat (6) PER-2/PJ/2024. DJP mencatat telah menerima 848.755 SPT Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2023 hingga 17 Januari 2024. Melalui media sosial, DJP terus mengimbau wajib pajak segera menyampaikan SPT Tahunan. Penyampaian SPT Tahunan juga dapat dilakukan secara mudah melalui DJP Online. "#KawanPajak dapat melaporkan SPT Tahunan melalui http://pajak.go.id," bunyi cuitan akun X @DitjenPajakRI. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 31 Maret 2024. Sementara, untuk SPT tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 30 April 2024. DJP mengingatkan wajib pajak agar segera menyampaikan SPT Tahunan 2023, meski penghasilannya di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Suryo Utomo mengatakan Indonesia menerapkan sistem self assessment sehingga wajib pajak salah satunya perlu melaporkan perpajakannya secara mandiri. Oleh karena itu, wajib pajak tetap wajib melaporkan SPT Tahunan meski penghasilannya kurang dari PTKP atau bahkan sedang tidak bekerja. "Sekecil apapun penghasilan Anda, seberapa pun penghasilan Anda, yuk kita laporkan di SPT-nya karena ini wujud dari tanggung jawab kita sebagai masyarakat suatu negara," katanya dalam Podcast Cermati.  DJP menyampaikan pemberitahuan terkait dengan pemutakhiran aplikasi e-form SPT Tahunan pembetulan. Pemberitahuan itu disampaikan Pengumuman Nomor PENG-1/PJ.09/2024 tentang Pemberitahuan Pemutakhiran Aplikasi e-Form SPT Tahunan Pembetulan untuk Mengakomodir Penginputan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Sebelum Tahun Pajak 2022. “Sehubungan dengan adanya kendala peng-input-an SKPPKP pada e-form SPT Tahunan pembetulan sebelum tahun pajak 2022. Dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut,” bunyi pengumuman yang diteken Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti. (sap)


Silahkan Login untuk Memberikan Komentar!