Home »
DDTC NEWS » Cegah Penyalahgunaan Surat Pernyataan Omzet Rp500 Juta, DJP Pakai Ini
Cegah Penyalahgunaan Surat Pernyataan Omzet Rp500 Juta, DJP Pakai Ini
, 24 16-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memastikan ada mekanisme yang digunakan untuk mencegah penyalahgunaan surat pernyataan omzet wajib pajak orang pribadi UMKM tidak melebihi Rp500 juta. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (16/1/2024).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan pemotong pajak selaku lawan transaksi harus membuat bukti potong nihil meskipun wajib pajak orang pribadi UMKM tidak dikenai pemotongan PPh final 0,5% karena menunjukkan surat pernyataan tersebut.
"Mekanisme ini merupakan salah satu upaya pencegahan penyalahgunaan surat pernyataan bagi wajib pajak yang tidak berhak. Penerbitan bukti potong menjadi salah satu alat bantu penelitian terhadap jumlah peredaran bruto wajib pajak orang pribadi terkait,” katanya. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) PMK 164/2023, pemotong atau pemungut tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh final atas transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan wajib pajak orang pribadi UMKM atas penghasilan dari usaha tidak melebihi Rp500 juta.
Kemudian, sesuai dengan Pasal 8 ayat (5) PMK 164/2023, atas transaksi yang dikecualikan dari pemotongan atau pemungutan PPh final tersebut, pemotong atau pemungut tetap menerbitkan bukti pemotongan atau pemungutan dengan nilai PPh nihil.
Selain mengenai surat pernyataan omzet wajib pajak orang pribadi UMKM tidak melebihi Rp500 juta, ada pula ulasan terkait dengan dokumen transfer pricing. Kemudian, ada bahasan tentang pemberian fasilitas kepabeanan kepada pekerja migran Indonesia (PMI). Dengan bukti potong yang diterbitkan, DJP bisa melakukan penelitian terhadap omzet wajib pajak orang pribadi UMKM. Bila DJP menemukan adanya ketidakbenaran data, wajib pajak orang pribadi UMKM akan dikenakan sanksi.
PMK 164/2023 turut memuat ketentuan yang berlaku jika surat pernyataan telah disampaikan wajib pajak orang pribadi, tapi pada kenyataannya peredaran bruto atas penghasilan dari usaha melebihi Rp500 juta dalam 1 tahun pajak.
“… wajib pajak yang bersangkutan wajib menyetorkan sendiri PPh yang bersifat final yang seharusnya dipotong atau dipungut … sesuai dengan bulan dilakukannya transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa dengan pemotong atau pemungut PPh,” penggalan Pasal 8 ayat (8) PMK 164/2023. (DDTCNews) Surat pernyataan omzet tidak melebihi Rp500 juta dibuat sendiri oleh wajib pajak dengan mencantumkan nama, NPWP/NIK, serta alamat. Bila menggunakan wakil/kuasa, surat pernyataan harus mencantumkan nama, NPWP/NIK, dan alamat wakil/kuasa wajib pajak tersebut.
Dalam surat tersebut, wajib pajak harus menyatakan bersedia menerima konsekuensi hukum bila surat pernyataan yang dibuat terbukti tidak benar. Konsekuensi itu juga termasuk penerapan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. (DDTCNews)
PMK 172/2023 turut memuat ketentuan peralihan terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama, Kesepakatan Harga Transfer, serta Dokumen Penentuan Harga Transfer. Adapun terkait dengan Dokumen Penentuan Harga Transfer (Dokumen Transfer Pricing/TP Doc), kewajiban menyelenggarakan, menyimpan, serta menyampaikan untuk tahun pajak 2024 dan seterusnya dilaksanakan berdasarkan pada PMK 172/2023. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menegaskan pemberian fasilitas kepabeanan berdasarkan PMK 141/2023 hanya diberikan kepada pekerja migran Indonesia (PMI) yang memenuhi persyaratan.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan fasilitas kepabeanan ini hanya diberikan kepada PMI yang tercatat pada Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Luar Negeri. "[Tujuannya agar] fasilitas itu tepat sasaran. Kami dengan melakukan integrasi data antara Kemenlu, BP2MI, dan DJBC, maka yang berhaklah yang akan mendapatkan fasilitas," katanya. (DDTCNews)
Wajib pajak dalam negeri dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sepanjang memenuhi beberapa ketentuan. Salah satu ketentuan itu terkait dengan usulan penentuan harga transfer (transfer pricing).
Berdasarkan pada PMK 172/2023, usulan transfer pricing dibuat berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) dan tidak mengakibatkan laba operasi wajib pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh badan. Ketentuan itu terpenuhi sepanjang tingkat laba yang paling rendah dalam proyeksi laporan keuangan selama periode APA lebih besar atau sama dengan tingkat laba yang paling rendah dalam SPT Tahunan PPh badan 3 tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan APA.
Adapun tingkat laba yang dimaksud merupakan rasio antara laba sebelum pajak/penghasilan neto komersial dan peredaran usaha atau rasio antara laba sebelum pajak/penghasilan neto komersial dan total biaya. (DDTCNews)
Dalam hal permohonan APA diajukan oleh wajib pajak yang usahanya terdampak negatif bencana nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, tingkat laba dalam proyeksi laporan keuangan itu merupakan tingkat laba hasil penyesuaian pada kondisi normal. Proyeksi laporan keuangan itu dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M PMK 172/2023. Simak kembali ‘Terbit, Aturan Pajak Baru Soal Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha’. (DDTCNews) (kaw)