DJP Ungkap Alasan Pajak di Januari Lebih Besar, Ada Fitur Baru e-Bupot

, 24 03-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) buka suara untuk menjawab keresahan sebagian masyarakat terkait dengan pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 pada Januari 2024 yang dirasakan lebih besar dari biasanya. Topik ini cukup mendapat sorotan dari netizen selama sepekan terakhir.  Pemungutan PPh Pasal 21 kini menggunakan tarif efektif rata-rata (TER). DJP menegaskan kalau TER bukanlah jenis pajak baru.  DJP mengatakan tidak ada tambahan beban pajak baru dengan adanya implementasi TER PPh Pasal 21. Menurut DJP, penerapan TER memberikan kemudahan dan kesederhanaan bagi wajib pajak untuk menghitung pemotongan PPh Pasal 21 pada setiap masa pajak. "Jika #KawanPajak mendapati PPh Pasal 21 mulai bulan ini [Januari] hingga November lebih besar daripada biasanya, bisa jadi nanti di bulan Desember malah PPh Pasal 21 lebih kecil," tulis DJP. DJP mengatakan pada akhir tahun, PPh Pasal 21 terutang tetap sama besarnya antara sebelum TER berlaku dan saat TER berlaku. Dengan demikian, sambung DJP, tidak ada tambahan pajak baru yang dikenakan. Menurut DJP, terdapat kondisi PPh Pasal 21 terutang pada Desember lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang bulanan sebelum berlakunya TER. Namun, bisa juga terjadi sebaliknya, yakni PPh Pasal 21 terutang Desember lebih kecil daripada PPh Pasal 21 terutang bulanan sebelum berlakunya TER. Sesuai dengan PMK 168/2023, penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan pensiunan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dibedakan menjadi 2.  Pertama, penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh setiap masa pajak selain masa pajak terakhir. Kedua, penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam 1 tahun pajak/bagian tahun pajak. Simak artikel lengkapnya, 'PPh Pasal 21 Bulan Ini Lebih Besar dari Biasanya? Ini Kata DJP'. Selanjutnya, ada fitur baru dalam aplikasi e-bupot 21/26. DJP meluncurkan fitur user perekam, yakni user yang memiliki kewenangan untuk mengakses e-bupot 21/26 secara terbatas.  Fitur ini disediakan DJP untuk menjawab isu kerahasisaan data pemotongan PPh.  Aplikasi e-bupot 21/26 sendiri resmi digunakan sebagai pengganti e-SPT PPh 21/26 terhitung sejak masa pajak Januari 2024 seiring dengan berlakunya PER-2/PJ/2024. Bagaimana cara mendaftar sebagai user perekam? Simak artikel lengkap, 'Resmi! Ditjen Pajak Luncurkan Fitur User Perekam e-Bupot 21/26'. Selain 2 topik di atas, ada pula bahasan tentang fitur buku besar di taxpayer account, kewajiban lapor SPT Masa PPh 21/26, insentif PPN DTP, hingga uji materiil atas pemisahan DJP dari Kemenkeu. Melalui electronic taxpayer account (e-TPA) atau akun wajib pajak elektronik, Ditjen Pajak (DJP) akan menyediakan buku besar wajib pajak. Adapun e-TPA nantinya bisa diakses oleh wajib pajak saat taxpayer portal diluncurkan. Dalam video yang diunggah di Youtube, DJP mengatakan menu buku besar wajib pajak akan memuat catatan transaksi untuk setiap wajib pajak, yaitu kewajiban dan hak perpajakan. Catatan tersebut disajikan dalam bentuk entri debit dan kredit. “Dengan buku besar, wajib pajak dapat mengetahui kondisi terkini atas jumlah kewajiban atau utang pajak dan hak kelebihan pembayaran pajak secara transparan dan akuntabel,” demikian keterangan yang disampaikan DJP. DJP mengingatkan adanya kewajiban untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 meskipun nihil. Penyuluh Pajak Ahli Pratama DJP Imaduddin Zauki mengatakan ketentuan tersebut sudah diatur dalam PER-2/PJ/2024. Kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 tersebut juga sejalan dengan kewajiban pembuatan bukti potong PPh Pasal 21/26. "Selama ini kalau nihil enggak perlu lapor kecuali di masa akhir, contohnya di Desember yang tahunan. Dengan adanya PER-2/PJ/2024 untuk masa PPh Pasal 21/26 walaupun nihil, Kawan Pajak wajib melakukan pelaporan SPT-nya. Ini yang harus diingat," ujarnya dalam TaxLive DJP. Kementerian Keuangan tengah menyiapkan PMK yang mengatur mengenai pemberian insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun mulai pada masa pajak Januari hingga Desember 2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan PMK 120/2023 memang hanya mengatur pemberian insentif PPN rumah DTP pada masa pajak November hingga Desember 2023. Oleh karena itu, PMK baru disiapkan untuk pelaksanaan insentif PPN DTP pada tahun anggaran 2024. "Karena ini pindah tahun anggaran, kita perlu PMK yang sekarang sedang diselesaikan dan akan segera keluar. Sedang dalam proses pengundangan," katanya dalam konferensi pers KSSK. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil atas UU 39/2008 tentang Kementerian Negara sebagai dasar pemisahan Ditjen Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan penempatan DJP di bawah Kementerian Keuangan merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. "Hal dimaksud sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada maupun sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan, atau dapat pula melalui upaya legislative review," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan Putusan MK Nomor 155/PUU-XXI/2023. PMK 164/2023 turut memuat ketentuan angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25. Sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) PMK 164/2023, ketentuan itu berlaku bagi wajib pajak dengan omzet hingga Rp4,8 miliar (UMKM) yang memilih dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum; wajib pajak yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar; atau wajib pajak yang telah melewati jangka waktu tertentu pengenaan PPh final. “ …. wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 mulai tahun pajak pertama wajib pajak dikenai pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan,” bunyi penggalan Pasal 16 ayat (1) PMK 164/2023. (sap)


Silahkan Login untuk Memberikan Komentar!