Home » DDTC NEWS » DJP Ungkap Strategi Pengawasan Wajib Pajak Berdasarkan Profil Risiko
DJP Ungkap Strategi Pengawasan Wajib Pajak Berdasarkan Profil Risiko
, 24 26-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
Pengawasan wajib pajak berdasarkan profil risiko individual dari setiap wajib pajak pada sektor tertentu bakal didukung coretax administration system. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (26/1/2024).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan data yang diterima dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) akan diolah oleh sistem guna menghasilkan profil risiko individu pada setiap sektor.
"Setelah data terkumpul baru kami dudukkan, perlukah sektor ini dilakukan pendalaman, pengawasan, pemeriksaan, atau segala macam. Makin banyak data dan informasi bisa kami capture, itu akan lebih memudahkan sistem ini beroperasi," katanya. Sejak UU 9/2017 berlaku, lanjut Suryo, DJP diberikan kemudahan untuk memperoleh akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Untuk memperoleh data transaksi, DJP lebih mengandalkan data pemotongan/pemungutan pajak.
"Kami banyak menggunakan modus pemungutan pajak lewat pihak lain. PPh Pasal 21 karyawan itu kami bisa dapat informasi mengenai siapa pemungut, siapa yang dipungut. PPh Pasal 22 misalnya, transaksi antara 2 entitas. Itu dilaporkan ke kami," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Suryo, kewajiban untuk melakukan pemotongan/pemungutan pajak ke depannya juga akan diperluas ke sektor ekonomi digital sehingga DJP bisa memperoleh data transaksi dari sektor tersebut. "Sekarang kan belum. Apabila suatu saat diperlakukan serupa ya sama. Informasi transaksi bisa kami capture. Makin banyak yang bisa kami lakukan, ya kami bisa awasi. Sektor mana yang berpotensi kurang bayar, kami bisa lihat dari situ," tuturnya.
Sebagai informasi, DJP berencana meluncurkan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system sebagai pengganti SIDJP mulai Juli 2024. Pengembangan coretax diamanatkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2018.
Selain coretax administration system, ada pula ulasan lainnya mengenai wacana kenaikan tarif pajak kendaraan, prospek penerimaan pajak rokok elektrik, perubahan kode objek PPh Pasal 21, hingga pemberian insentif pajak di Ibu Kota Nusantara. Ditjen Pajak (DJP) mengubah sejumlah kode objek PPh Pasal 21 seiring dengan diterbitkannya Perdirjen Pajak No. PER-2/PJ/2024. Kode objek pajak terbaru ini mengganti ketentuan dalam Perdirjen Pajak No. PER-14/PJ/2013.
Kode objek PPh yang berubah terkait dengan objek PPh Pasal 21 tidak final pada Formulir 1721-VI. Selain itu, perubahan kode objek juga terjadi pada objek PPh Pasal 21 final pada Formulir 1721-VII. Perubahan ini berkaitan dengan terbitnya PMK 168/2023.
“…dengan ditetapkannya PMK 168/2023…, Perdirjen No. PER-14/PJ/2013…belum menampung kebutuhan perubahan pengaturan PPh Pasal 21 dan/atau 26 sehingga perlu diganti,” bunyi bagian pertimbangan PER-2/PJ/2024. (DDTCNews) Toyota mewanti-wanti supaya pemerintah berhati-hati mengambil kebijakan dengan menaikkan pajak kendaraan bermotor. Aturan tersebut harus dipikirkan secara matang karena jika salah menetapkan kebijakan dapat mengganggu investasi.
"Hati-hati menaikkan pajak, karena pajak itu bisa kontraproduktif, menekan konsumsi, kalau konsumsi ketekan, market akan ciut, kalau market ciut, ekonomi akan pesimis," kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Bob Azzam.
Pemerintah sudah menaikkan tarif pajak PPnBM untuk kategori low cost green car (LCGC), padahal mobil termurah, irit, dan ramah lingkungan itu dulunya dibebaskan dari PPnBM. Kini mobil Ayla, Agya, Calya, Brio Satya dan kawan-kawan kena PPnBM 3%. (oto.detik.com) Kementerian Keuangan memberikan asumsi pendapatan negara atas pengenaan pajak rokok elektrik 10% dari cukai yang diterapkan mulai 1 Januari 2024. Hasil perhitungan menunjukkan penerimaan atas pajak tersebut diperkirakan hanya Rp175 miliar setahun.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati mengatakan nilai pendapatan tersebut didapatkan dengan asumsi pemungutan pajak rokok elektrik berlaku pada 2023.
"Kita simulasikan jika pajak rokok elektrik ini sudah dipungut dari 2023 atau 10% dari cukai itu sebesar Rp0,175 triliun atau Rp175 miliar," kata Lydia. (bisnis.com) Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeklaim peraturan menteri keuangan dan peraturan kepala Otorita IKN terkait dengan insentif pajak pajak di IKN akan terbit dalam waktu dekat.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengatakan proses harmonisasi peraturan di Kemenkumham sudah rampung. Dengan demikian, PMK dan peraturan kepala Otorita IKN sudah masuk tahap pengundangan.
"Oleh karena sudah harmonisasi, masukan dari kementerian itu sudah selesai. Dari Kemenkumham itu sudah mengirimkan ke Kemenkeu. Peraturan kepala Otorita IKN mereka juga sudah selesaikan, itu satu paket regulasi," ujarnya. (DDTCNews) Saat sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS) diimplementasikan pada 2024, akan ada hal-hal baru yang berbeda dari proses bisnis saat ini.
Salah satunya ialah saluran layanan administrasi perpajakan Click, Call, Counter (3C). Saat ini, saluran pendaftaran hanya melalui situs web dan loket. Dengan CTAS, akan ada banyak saluran (omnichannel/3C). Pendaftaran juga dilakukan di KPP/KP2KP manapun (borderless).
Lalu, otoritas akan menyediakan layanan informasi bagi wajib pajak melalui tax account management (TAM). TAM merupakan pengelolaan informasi wajib pajak yang berisi profil wajib pajak, hak dan kewajiban perpajakan, buku besar perpajakan, serta riwayat transaksi perpajakan. Dengan implementasi CTAS, akan ada pula modernisasi pembayaran pajak yang mengusung konsep one stop solution. Dengan konsep tersebut, ada integrasi layanan pembayaran di sistem CTAS dengan sistem pembayaran bank persepsi. (rig)