Home » DDTC NEWS » Dua Hal Ini Bikin Pemotong Pajak Tak Dianggap Lapor SPT Masa PPh 21/26
Dua Hal Ini Bikin Pemotong Pajak Tak Dianggap Lapor SPT Masa PPh 21/26
, 24 12-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
JAKARTA, DDTCNews - Pemotong pajak perlu memperhatikan kembali ketentuan tentang pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Ada 2 hal yang bisa membuat pemotong pajak dianggap tak melaporkan SPT Masa PPh 21/26. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (12/2/2024).
Pasal 10 PER-2/PJ/2024 secara gamblang menjelaskan 2 kondisi yang dapat menyebabkan pemotong pajak dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
"SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemotong pajak untuk melaporkan kewajiban pemotongan … dan penyetoran … dalam 1 masa pajak … ," bunyi penggalan Pasal 1 angka 9 PER-2/PJ/2024. Adapun kedua kondisi tersebut antara lain, pertama, dalam hal pemotong pajak memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (3) PER-2/PJ/2024, tetapi tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik.
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) PER-2/PJ/2024, bukti pemotongan (bupot) serta SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk elektronik wajib digunakan oleh pemotong pajak yang:
Kedua, dalam hal tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 PER-2/PJ/2024. Sesuai dengan pasal tersebut, pemotong pajak yang telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa dalam bentuk formulir kertas untuk masa-masa pajak berikutnya. “Pemotong pajak yang tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 … dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” bunyi penggalan Pasal 10 PER-2/PJ/2024.
Selain topik tersebut, ada pula bahasan mengenai tarif PPh 21 lebih tinggi 20%, konsekuensi telat lapor SPT Tahunan, hingga pemberitaan tentang gugatan terhadap pajak hiburan.
DJP menegaskan ketentuan pengenaan tarif PPh lebih tinggi 20% terhadap wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masih berlaku. Namun, aplikasi e-bupot 21/26 yang saat ini digunakan memang belum mengenakan tarif lebih tinggi 20%. Ketentuan soal tarif yang lebih tinggi tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (5a) UU PPh s.t.d.d. UU HPP.
"Dan saat ini ketentuan tersebut belum dicabut," tulis contact center DJP.
Pasal 21 ayat (5a) UU PPh menyebut besaran tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan NPWP. (DDTCNews) DJP memberikan penjelasan kepada wajib pajak terkait dengan jatuh tempo pembayaran PPh Masa yang bertepatan pada hari libur.
Jika jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan pada hari libur maka batas pembayaran pajak diperpanjang hingga hari kerja berikutnya.
“Misal, jika jatuh temponya 10 Februari 2024 maka batas pembayaran diperpanjang hingga tanggal 12 Februari 2024,” jelas Kring Pajak di media sosial. (DDTCNews) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan.
Penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat dilaksanakan 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak, sedangkan untuk SPT tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
Denda terlambat melaporkan SPT Tahunan pada orang pribadi adalah senilai Rp100.000, sedangkan pada wajib pajak badan Rp1 juta. (DDTCNews) Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas berkesempatan untuk menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) hingga akhir Maret 2024.
PMK 54/2021 mengatur wajib pajak orang pribadi yang menggunakan NPPN untuk menghitung penghasilan neto perlu menyampaikan pemberitahuan kepada DJP pada 3 bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan.
"Wajib pajak ... dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan NPPN dan melakukan pencatatan, dengan syarat memberitahukan kepada dirjen pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan," bunyi Pasal 4 ayat (2) PMK 54/2021. (DDTCNews) Pemerintah menyampaikan kesiapannya menghadapi gugatan pengusaha terkait dengan kenaikan pajak hiburan tertentu sebesar 40% hingga 75%.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutus 3 menteri, yakni Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menghadapi gugatan ini. (Kontan)