Home »
DDTC NEWS » Jasa Hiburan, Ada Rencana PPh Badan Ditanggung Pemerintah 10%
Jasa Hiburan, Ada Rencana PPh Badan Ditanggung Pemerintah 10%
, 24 23-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
Merespons polemik terkait dengan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan, pemerintah berencana memberikan insentif pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (23/1/2024).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah tengah mengkaji pemberian fasilitas PPh badan ditanggung pemerintah (DTP) untuk penyelenggara jasa hiburan sebesar 10%. Dengan demikian, PPh badan yang dibayar penyelenggara jasa hiburan nantinya hanya sebesar 12%.
"Untuk tetap mendukung pengembangan sektor pariwisata di daerah, pemerintah akan memberikan insentif fiskal berupa pengurangan PPh badan berupa fasilitas pajak yang DTP," ujar Airlangga. Pada saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri telah merancang surat edaran (SE) khusus untuk menurunkan tarif PBJT atas jasa hiburan menjadi lebih rendah dari 40%.
Seperti diketahui, UU HKPD mewajibkan pemda untuk mengenakan tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Ketentuan pajak daerah dalam UU HKPD berlaku mulai tahun ini.
Selain mengenai rencana pemberian insentif pajak terkait dengan jasa hiburan, ada pula bahasan terkait dengan telah diluncurkannya aplikasi e-bupot 21/26 di DJP Online. Kemudian, ada bahasan tentang penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan SE yang tengah dirancang Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri akan menjadi panduan bagi kepala daerah untuk memberikan insentif PBJT jasa hiburan sejalan dengan Pasal 101 UU HKPD.
Dengan demikian, pemda memiliki kebebasan untuk tetap mengenakan tarif sebesar 40% hingga 75% sesuai dengan UU HKPD atau menurunkan tarif PBJT ke level di bawah 40%. Penerapan insentif fiskal dilaksanakan sesuai karakteristik wilayah.
“Dengan pertimbangan budaya dan penerapan syariat Islam, sehingga beberapa daerah tetap dapat meneruskan tarif pajak yang ada, sedangkan daerah yang berbasiskan pariwisata dapat menetapkan tarif sebagaimana tarif pajak sebelumnya," ujar Airlangga. Berdasarkan catatan Kemenko Perekonomian, daerah-daerah seperti Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, Depok, Sawahlunto, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Sukabumi, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, dan Mataram sudah menerapkan pajak hiburan dengan tarif 40% atau lebih tinggi ketika UU 28/2009 masih berlaku.
Meski demikian, terdapat segelintir pemda yang dahulu menerapkan tarif pajak hiburan yang lebih rendah, seperti DKI Jakarta yang menerapkan tarif sebesar 25% dan Kabupaten Badung yang menerapkan tarif hanya sebesar 15%. (DDTCNews/Kontan)
Dalam Broadcash yang disiarkan Bisnis.com, Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berpendapat perlunya pemerintah memperjelas definisi mengenai hiburan-hiburan tertentu yang dikenai PBJT dengan tarif sebesar 40% hingga 75%. Dalam UU HKPD, tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% diberlakukan atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa. Namun, tidak ada penjelasan alasan kelima jenis jasa hiburan tersebut perlu dikelompokkan dalam kategori yang sama dan dikenai tarif lebih tinggi.
Oleh karena itu, menurut dia, definisi yang pasti diperlukan agar terdapat kejelasan mengenai sasaran pemerintah dari tarif PBJT yang lebih tinggi ini.
"Pada sisi lain, bisa malah ada tax planning. Supaya saya bisa menghindari ruang lingkup tersebut, saya masuk deh seolah-olah, misal berkedok yang lain, panti pijat misalnya. Supaya tarifnya turun," ujar Bawono. (Bisnis Indonesia/DDTCNews) Ditjen Pajak (DJP) telah merilis aplikasi e-bupot 21/26. Aplikasi tersebut dapat diakses melalui DJP Online atau laman https://ebupot2126.pajak.go.id. DJP merilis aplikasi e-bupot 21/26 sebagai tindak lanjut dari terbitnya Perdirjen Pajak No. PER-2/PJ/2024.
Melalui PER-2/PJ/2024, DJP mengatur ulang ketentuan bukti pemotongan (bupot) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21/26 serta SPT Masa PPh Pasal 21/26. Adapun bupot PPh Pasal 21/26 serta SPT Masa PPh 21/26 tersebut dibuat melalui aplikasi yang telah disediakan DJP.
“Bupot PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik dibuat menggunakan aplikasi e-Bupot 21/26 yang telah disediakan oleh DJP,” bunyi Pasal 6 ayat (6) PER-2/PJ/2024. Untuk dapat mengakses e-Bupot Pasal 21/26, pengguna harus melakukan aktivasi fitur terlebih dahulu. Aktivasi dapat dilakukan melalui menu Profil pada bagian Aktivasi Fitur. Setelah berhasil melakukan aktivasi, aplikasi e-Bupot 21/26 akan berada di menu Lapor pada submenu Pra-Pelaporan. (DDTCNews)
PER-2/PJ/2024 memuat ketentuan penyampaian 3 jenis bupot untuk masa pajak Januari 2024 dari pemotong pajak kepada penerima penghasilan.
Ketiga jenis bupot yang dimaksud adalah bupot PPh Pasal 21 yang tidak bersifat final atau PPh Pasal 26 (formulir 1721-VI); bupot PPh Pasal 21 yang bersifat final (formulir 1721-VII); dan bupot PPh Pasal 21 bulanan (formulir 1721-VIII). “Untuk masa pajak Januari 2024, pemotong pajak dapat memberikan … kepada penerima penghasilan paling lambat pada tanggal 31 Maret 2024,” bunyi penggalan Pasal 12 PER-2/PJ/2024.
Ketentuan khusus untuk masa pajak Januari 2024 itu lebih longgar. Sejatinya, sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) PER-2/PJ/2024, bupot PPh Pasal 21 yang tidak bersifat final atau PPh Pasal 26 (Formulir 1721-VI); bupot PPh Pasal 21 yang bersifat final (Formulir 1721-VII) diberikan untuk setiap kali pembuatan bupot.
Kemudian, bupot PPh Pasal 21 bulanan (Formulir 1721-VIII), masih berdasarkan pada Pasal 2 ayat (5) PER-2/PJ/2024, diberikan kepada penerima penghasilan paling lama 1 bulan setelah masa pajak berakhir. (DDTCNews) Pemerintah telah menerbitkan PMK 165/2023 mengenai tata cara permohonan, permintaan, dan pembayaran sanksi administratif berupa denda dalam rangka penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.
PMK 165/2023 diterbitkan sebagai peraturan pelaksana PP 54/2023. Sesuai dengan PMK tersebut, dirjen atau kepala kantor bea dan cukai akan melakukan penelitian terhadap permohonan ultimum remedium pada bidang cukai yang diajukan tersangka.
“Penelitian ... dilakukan untuk menyimpulkan dapat atau tidaknya diajukan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara," bunyi Pasal 8 ayat (2) PMK 165/2023. Dirjen atau kepala kantor bea dan cukai akan meneliti permohonan untuk memastikan identitas tersangka; memastikan pemenuhan ketentuan surat permohonan; menentukan pasal pidana yang dilanggar; dan menghitung besaran sanksi administratif berupa denda 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. (DDTCNews) (kaw)