Home »
DDTC NEWS » Kena Pajak Hiburan 40-75 Persen, Pengusaha Spa Bisa Judicial Review
Kena Pajak Hiburan 40-75 Persen, Pengusaha Spa Bisa Judicial Review
, 24 18-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
JAKARTA, DDTCNews - Kemenkeu mempersilakan pelaku usaha untuk mengajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) atas tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu Lydia Kurniawati mengatakan pengujian materiil atau judicial review adalah hak setiap warga negara.
"Silakan menggunakan jalur yang secara hierarkis diperlukan. Untuk judicial review yang sudah diajukan, tentu Kemenkeu akan memberikan tanggapan saat sidang di MK," ujar Lydia, dikutip Rabu (17/1/2024). Perlu diketahui, permohonan pengujian materiil terhadap tarif PBJT dalam UU HKPD telah diajukan oleh Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia yang dahulu bernama Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) dan Perkumpulan Asosiasi Spa Terapis Indonesia.
Para pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa 'mandi uap/spa' dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Saat ini, UU HKPD mengategorikan spa sebagai jasa hiburan khusus bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar yang dikenai PBJT minimal sebesar 40% hingga maksimal sebesar 75%. Menurut pemohon, spa seyogianya tidak diperlakukan sama dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Langkah pemerintah yang menempatkan spa dalam kategori yang sama dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar telah menggerus citra dari spa.
PBJT sebesar 40% hingga 75% juga dinilai eksesif. Akibatnya, pengusaha spa berpotensi kehilangan konsumen seiring dengan kenaikan tarif tersebut. Berkurangnya konsumen dipandang akan mengurangi pendapatan pelaku usaha dan meningkatkan pengangguran.
Menurut pemohon, pengenaan PBJT sebesar 40% hingga 75% atas spa telah bertentangan dengan program pemerintah untuk memberdayakan layanan kesehatan tradisional. (sap)