Home » IKPI » MK Kembali Sidangkan Uji Materi Pemisahan DJP
MK Kembali Sidangkan Uji Materi Pemisahan DJP
, 24 16-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
Sangap Tua Ritonga yang merupakan konsultan pajak kembali mengikuti sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 155/PUU-XXI/2023 ini mempersoalkan Pasal 5 dan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Hadir langsung di Ruang Sidang Panel MK, ia menyebutkan beberapa yang diperbaiki pada permohonannya, yaitu kedudukan hukum yang telah disertai dengan uraiannya; kualifikasi kerugian konstitusional Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan; pokok-pokok permohonan tentang penempatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan. “Hal ini tidak memenuhi syarat berupa asas kemanfaatan dan kedayagunaan. Selain itu, kami juga telah memperbaiki tentang pembentukan badan otoritas pajak. Pada hal ini penanganan pajak harus efektif dan terpadu dan ini kamu uraikan pada perbaikan ini,” kata Sangap dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang dikutip dari website resmi MK, Selasa (16/1/2024). Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Selasa (12/12/2023), Pemohon mengatakan Direktorat Jenderal Pajak menyosialisasikan slogan Kemenkeu “SATU” sejak 2022. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibatnya terjadi pencampuradukan nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak. Menurut Pemohon hal ini wujud dari pencampuradukan nomenklatur yang berakibat pada tercampur segala aspek yaitu, organisasi, SDM, sistem Informasi Teknologi (IT) dan banyak lagi aspek operasional. Bagi Pemohon, hal ini mempengaruhi interaksi Pemohon dalam melaksanakan pelayanan klien Pemohon. Semenstinya fungsi treasury dan fungsi pembuat kebijakan pajak dan administrasi pajak yang menjadi satu komando tentunya akan diwujudkan dalam APBN setiap tahunnya. Namun dalam kenyataannya, hal tersebut akan melahirkan adanya target pajak yang naik tanpa didasari oleh dasar perhitungan kenaikan yang didasarkan gap potensi pajak yang belum dilaporkan oleh wajib pajak. Kondisi demikian akan membuat para wajib pajak menjadi sasaran untuk selalu harus menambah konstribusi pajaknya karena adanya kebutuhan APBN yang sangat meningkat. Padahal Pemohon selaku profesi konsultan yang mendapat kuasa dari klien sering mengedukasi klien untuk membayar pajak secara self assesment dengan jujur dan terbuka sesuai dengan gap potensi pajak yang terbuka dan riil. Pemohon juga mendalilkan seharusnya ada pemisahan Direktorat Perpajakan dengan Kementerian Keuangan bertujuan agar secara umum tata kelola kelembagaan Ditjen Pajak sebagai lembaga otonom bisa mengurangi kewenangan berlebih Kementerian Keuangan karena terdapat pemisahan kewenangan penerimaan negara dan perbendaharaan negara. Selain itu, pemisahan ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan pengawasan, dan mengurangi potensi conflict of interest. Sehingga, pada petitum, ia mengharapkan MK menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara inkonstitusional sepanjang tidak mencantumkan kata “pajak” sebagai nomenklatur yang terpisah dari nomenklatur “keuangan”. Kemudian, dengan mendasarkan pada Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 yang tidak secara tersurat membatasi jumlah kementerian, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 UU a quo. (bl)