Home »
DDTC NEWS » Pajak Hiburan Digugat ke MK, Pengusaha Bayar Pajak Pakai Tarif Lama?
Pajak Hiburan Digugat ke MK, Pengusaha Bayar Pajak Pakai Tarif Lama?
, 24 15-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
JAKARTA, DDTCNews - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) meminta para pelaku usaha diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama.
Pembayaran pajak hiburan menggunakan tarif lama tersebut dilakukan sepanjang berjalannya proses pengujian materiil atas UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hal ini dilakukan agar dapat menjaga keberlangsungan usaha hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa terhadap kenaikan tarif yang akan berdampak pada penurunan konsumen," imbau GIPI melalui surat edarannya, dikutip Kamis (15/2/2024). Dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD, tarif PBJT yang diberlakukan atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa adalah sebesar 40% hingga 75%. Tarif ini dipandang memberatkan pelaku usaha.
Melalui pengujian materiil, GIPI berharap MK menyatakan Pasal 58 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga pelaku usaha diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dikenai PBJT dengan tarif maksimal 10% layaknya pelaku usaha jasa hiburan lainnya.
"Dengan dicabutnya Pasal 58 Ayat (2) pada UU 1/2022 maka tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha jasa kesenian dan hiburan," harap GIPI. Perlu dicatat, meski UU HKPD membebankan pajak dengan tarif yang lebih besar khusus atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, bupati/wali kota sesungguhnya berwenang untuk memberikan fasilitas keringanan ataupun pengurangan pajak.
Ruang pemberian fasilitas tersebut telah tercantum dalam UU HKPD dan PP 35/2023 serta telah dipertegas melalui Surat Edaran Mendagri Nomor 900.1.13.1/403/SJ.
Lewat surat edaran ini, kepala daerah diminta untuk berkomunikasi kepada pelaku usaha dalam rangka membahas pemberian insentif fiskal. "Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dalam pelaksanaanya agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan, tidak boleh terjadi transaksional dan menghindari adanya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme," bunyi surat edaran tersebut. (sap)