Pajak Tinggi Jadi Sebab Penjualan Mobil di Indonesia Mandek

, 24 24-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow

Pasar otomotif Indonesia mengalami fase one million trap atau terjebak di angka satu juta unit selama satu dekade terakhir. Pasar otomotif tidak berkembang di Indonesia tapi pemain baru justru berdatangan. Pasar mobil Indonesia stagnan pada level penjualan sekitar satu jutaan per tahunnya, padahal rasio kepemilikan mobil masih sekitar 99 mobil per 1.000 penduduk. Penjualan mobil tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2013 yang mencapai 1.229.811 unit kemudian terus merosot di tahun berikutnya namun tetap berada di level satu jutaan. “Waktu itu kenapa kita growing tinggi? karena harga komoditi lagi bagus, GDP (gross domestic product) kita waktu itu naik, kemudian juga pemerintah memberikan subsidi bahan bakar, terus LCGC (low cost green car), jadi memang ada beberapa faktor, kemudian juga ada Low MPV model, terus ada subsidi bahan bakar, kemudian juga PPN (Pajak Pertambahan Nilai) belum setinggi saat ini,” ujar Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam seperti dikutip dari Detik Oto, Rabu (24/1/2024). Insentif diperlukan untuk menumbuhkan pertumbuhan pasar, berkaca dari pemerintah yang melakukan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) saat Covid-19, kala itu penjualan sedang anjlok drastis, namun permintaan kembali tinggi setelah pemerintah memberikan pembebasan PPnBM. Insentif diskon PPnBM ditanggung pemerintah (DTP) kendaraan roda empat terbukti mampu memberikan stimulus bagi peningkatan industri-industri pendukungnya, terutama yang bergerak pada industri komponen otomotif. Melalui kebijakan tersebut, beberapa subsektor manufaktur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional 2021 yang sebesar 3,69%. “Kita bisa lihat begitu relaksasi (PPnBM) langsung jump, tapi secara politik memang tidak populer karena seolah-olah memberi insentif untuk orang kaya. Itu yang berat bagi pemerintah. Padahal secara industri menguntungkan, karena industri bisa tumbuh, pajak yang dibayarkan tidak berkurang,” kata Bob. Bob mengatakan sudah berbicara dengan pemerintah terkait insentif pajak untuk menumbuhkan pasar otomotif yang stagnan di level satu jutaan. Masalahnya angka itu tidak beranjak naik sejak 10 tahun terakhir. “Waktu pandemi kita sudah sampaikan, bukan hanya (insentif) pandemi, tapi untuk seterusnya. Kita sudah sampaikan, bahwa industri kita ini sekarang masuk ke ekonomi biaya tinggi, karena dipajakin terus, apalagi market-nya tidak growth. Ekonomi biaya tinggi bisa kita tekan, birokrasi lebih efisien, kita bisa mendatangkan investasi dan kita tumbuh di atas 5 persen,” ujar dia. Selanjutnya untuk menghindari jebakan satu juta unit, maka selain fokus bagaimana meningkatkan pasar domestik Indonesia, juga tak kalah pentingnya fokus pada pasar luar negeri. Thailand masih juara untuk produksi mobilnya ketimbang Indonesia. “Pajak kita ketinggian, kalau mau beli mobil sekian persen isinya pajak,” terang Bob. Dengan pasar yang bertumbuh diharapkan bisa menggoda investor dari berbagai merek otomotif. Memang untuk saat ini, Indonesia kebanjiran pemain dari China, yang juga merakit mobil di dalam negeri. Tapi bagaimana dengan penyerapan pasarnya? “Kita kan selalu ingin yang terbesar di Asia Tenggara, selalu kan. Jadi simple aja. Bandingkan dengan Thailand, juaranya di Asia Tenggara, bagaimana pajaknya. Jadi pajak mereka itu lebih rendah, jadi kurang dari separuh. Di sana tidak ada pajak daerah. Kemudian kita kan baru naikan PPN,” kata Bob. “Kalau contohnya Thailand dengan pajak seperti itu, market-nya jadi berkembang. Kan bayar pajak juga ke pemerintah. Akhirnya pajak yang diterima pemerintah tidak turun bahkan industrinya bergerak, sehingga akan menciptakan tax lain kepada pemerintah,” kata Bob. “Jadi jangan selalu solusinya menaikkan pajak. Menurunkan pajak juga jadi salah satu solusi untuk meningkatkan penerimaan negara. Jangan salah. Kita harus hati-hati sekali. Karena otomotif ini sudah satu juta tidak bertumbuh, jadi kalau ada yang masuk, ya berarti dia gantin yang lama. Padahal yang lama sudah ada infrastruktur, sudah ada investasi, dan lain sebagainya, jadi kita kayak jalan di tempat,” jelasnya lagi. Mengutip paparan LPEM (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) FEB UI pada GIIAS 2023 lalu, pendapatan per kapita orang Indoneisa naik tipis per tahun 3,65 persen, – masih berada dalam kelompok negara berpendapatan menengah-atas awal. Pendapat per kapita yang naik tipis tersebut disebabkan pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara lima persen dalam kurun waktu periode 2015-2022. Ini menjadi salah satu penyebab penjualan mobil di Indonesia stagnan di level satu juta unit. Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara masih mencari formula untuk melakukan terobosan supaya angka penjualan dalam negeri dan utilisasi pabrik otomotif di Indonesia bisa berkembang. “Kita nggak gegabah dalam mencari solusinya, sekarang kita sedang mengkaji dengan LPEM UI, kenapa ini satu dekade masih satu juta, jadi banyak sisi yang kita lihat apakah mobilnya terlalu mahal, apakah kemudian perlu sisi lain lagi, misalnya pertumbuhan ekonomi, belum selesai studinya,” ujar Kukuh. Terkait pajak yang tinggi, pengamat otomotif, Yannes Pasaribu juga mengamini hal tersebut.Beberapa instrumen pajak yang dikenakan mulai dari biaya bea impor komponen, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), biaya tanda pendaftaran, biaya uji tipe, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, STNK, dan sebagainya. “Harga akhir sebuah mobil di Indonesia itu relatif mahal sebenarnya, karena di samping pajak-pajak yang dikenakan pada sebuah mobil, ada berbagai pungutan lainnya sejak mobil keluar dari pabrik hingga ke dealer. Hal inilah yang membuat harga OTR mobil semakin tinggi,” ujar akademisi dari ITB ini, beberapa waktu yang lalu. (bl)  


Silahkan Login untuk Memberikan Komentar!