Home »
DDTC NEWS » Penelitian di Bidang Perpajakan Masih Minim, Tapi Makin Diminati
Penelitian di Bidang Perpajakan Masih Minim, Tapi Makin Diminati
, 23 02-1 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
BANGKALAN, DDTCNews - Riset di bidang perpajakan masih minim dilakukan oleh akademisi. Hal ini diungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Dosen Jurusan Akuntansi FEB Universitas Trunojoyo Madura Nurul Herawati.
Nurul mengatakan, perpajakan sejatinya merupakan multidisiplin ilmu. Kendati bersinggungan dengan banyak area keilmuan, perpajakan masih disebut sebagai subarea dari akuntansi. Sementara itu, bidang akuntansi sendiri memiliki banyak subarea termasuk akuntansi syariah, audit, akuntansi forensi, hingga akuntansi manajemen.
"Dan perpajakan ini salah satunya. Dan penelitian di bidang akuntansi masih didominasi oleh subarea lainnya," kata Nurul dalam Simposium Nasional Perpajakan IX yang diselenggarakan 29-30 November 2023 lalu, dikutip pada Sabtu (2/12/2023). Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukannya pada 2017 dan 2019 lalu, Nurul menyimpulkan bahwa market share penelitian perpajakan di bidang akuntansi masih sangat minim. Jika ditinjau dari cakupan riset yang terkumpul dalam Simposiun Nasional Akuntansi (SNA) sejak 1998, riset tentang pajak baru muncul pada SNA IX pada 2006.
"Bahwa penelitian perpajakan baru mendapat tempat di SNA ke-9 pada 2006 dan itu masuk ke subarea akuntansi sektor publik. Kajian pajak juga baru mendapat pengakuan sebagai subarea tersendiri pada SNA ke-16 pada 2013," kata Nurul.
Dalam risetnya, Nurul juga menemukan bahwa pangsa pasar riset tentang pajak hanya 17% dari keseluruhan riset yang terkumpul pada tujuh jurnal nasional akuntansi yang terakreditasi di Indonesia, yakni EKUITAS, JAKI, JAMAL, JAK, VENTURA, JAAI, dan Jurnal Akuntansi. "Pangsa pasar penelitian perpajakan di akuntansi masih sangat minim," kata Nurul.
Meski begitu, terlihat bahwa secara perlahan penelitian di bidang perpajakan mulai mendapat perhatian oleh para akademisi. Jika dibandingkan satu dekade lalu, penelitian-penelitian yang bersinggungan dengan aspek perpajakan mulai bermunculan.
Penelitian pajak juga mendapatkan tempat yang cukup penting bagi riset di bidang lainnya. Selama 20 tahun terakhir misalnya, setiap riset tentang perpajakan disitasi minimal 1 kali. Mengutip Shevlin (1999), Nurul menambahkan, ada 3 topik besar yang bisa diambil oleh akademisi jika ingin melakukan penelitian di bidang pajak. Ketiganya adalah riset kebijakan pajak, riset perencanaan pajak, dan riset kepatuhan pajak.
"Kalau ada yang tertarik meneliti topik perpajakan di akuntansi ada 3 topik itu," katanya.
Tantangan Riset Pajak Jika ditelaah, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh periset atau akademisi dalam menjalankan penelitian perpajakan.
Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengungkapkan, pada prinsipnya riset perlu didahului dengan edukasi pajak. Sayangnya, selama ini pajak sebagai keilmuan masih melekat pada salah satu disiplin saja.
"Masalahnya, salah satu tantangannya, pajak itu lebih melekat pada satu disiplin dan lebih pragmatis. Kalau edukasinya tidak cair, hanya menyentuh pada salah satu jurusan tertentu saja, ini akan relatif sulit untuk disentuh riset," ujar Bawono. Selanjutnya, tantangan kedua adalah minimnya ketersediaan literatur yang bisa digunakan dalam riset pajak. Kebanyakan sumber literatur pajak di Indonesia, imbuh Bawono, masih terbatas pada paparan regulasi saja.
Tantangan riset pajak yang ketiga, ketersediaan data yang minim. Periset dan akademisi cenderung kesulitan dalam mengakses data-data perpajakan, baik dari otoritas ataupun dari pihak-pihak lain.
Keempat, dana riset yang belum optimal. Ketersediaan dana riset, ujar Bawono, tentunya menjadi bahan bakar bagi para periset untuk menyentuh isu perpajakan. "Kalau dananya belum ada, jarang masuk situ. Tapi sebenarnya [sumber pendanaan] ada banyak. Karena kita bicara applied tax research," kata Bawono.
Tantangan kelima, permintaan riset pajak yang masih sedikit. Seluruh tantangan tersebut, menurut Bawono, berakar dari tiga permasalahan. Ketiganya adalah belum terbentuknya masyarakat melek pajak, ketersediaan ahli pajak yang terbatas, dan sejarah fiskal Indonesia yang tidak banyak menyentuh isu pajak. (sap)