Produsen Minyak Goreng Minta Pemerintah Potong Pajak Perusahaan

, 24 18-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) mengusulkan agar pemerintah memangkas pajak perusahaan yang terdaftar dalam kebijakan minyak goreng satu harga, jika pemerintah enggan untuk menyelesaikan utang rafaksi atau selisih harga minyak goreng. Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga menyampaikan, langkah tersebut dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah rafaksi minyak goreng yang kini telah memasuki tahun kedua. “Solusi terbaik saya kira adalah fakta itu ada, persoalan hukumnya yang tidak jelas. Maka alangkah baiknya Presiden [Jokowi] mengatakan, oke selesaikan dengan baik, sehingga meski tidak ada hukumnya, itu sebagai payung hukum,” kata Sahat seperti dikutip dari Bisnis.com, Kamis (18/1/2024). Solusi lainnya, adalah dengan menempuh jalur hukum, mengingat tidak ada lagi dasar hukum untuk melakukan pembayaran rafaksi minyak goreng imbas dicabutnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Menurutnya, para produsen minyak goreng yang terdaftar dalam kebijakan minyak goreng satu harga harus bersatu dan mengajukan permasalahan ini ke Mahkamah Agung. “Biar Mahkamah Agung yang putuskan dari segi aspek hukumnya. Udah harus melalui hukum itu karena persoalannya dihukum yang nggak jelas, nggak ada yang berani tanggung jawab,” ujarnya. Polemik pelunasan utang rafaksi minyak goreng akan memasuki tahun kedua pada 19 Januari 2024. Masalah bermula dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.3/2022. Beleid ini mewajibkan peritel untuk menjual minyak goreng kemasan satu harga sebesar Rp14.000 per liter mulai 19 Januari 2022. Muhammad Lutfi, Menteri Perdagangan (Mendag) yang menjabat kala itu, menyebut bahwa pembayaran selisih harga akan dibayar 17 hari kerja setelah peritel melengkapi dokumen pembayaran kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Regulasi ini kemudian dicabut dan digantikan dengan Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng. Kendati dicabut, pasal 9 beleid itu secara tegas menyebut bahwa pelaku usaha yang terdaftar dan telah melaksanakan penyediaan minyak goreng, wajib dibayar setelah dilakukan verifikasi oleh surveyor. “Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, segala perbuatan hukum yang dilaksanakan berdasarkan Permendag No.3/2022 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan perbuatan hukum tersebut berakhir,” bunyi pasal 11 beleid itu, dikutip Kamis (18/1/2024). Kemudian, Kemendag yang kini di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan meminta pendapat dan pendampingan hukum ke Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran dinilai tak memiliki dasar hukum untuk melakukan pembayaran rafaksi minyak goreng. Namun, dalam pendapat hukumnya, Kejagung menyebut masih terdapat kewajiban hukum BPDPKS untuk menyelesaikan pembayaran dana pembiayaan. Meski sudah menerima pendapat hukum dari Kejagung, Zulhas tak mau terburu-buru untuk membayar utang tersebut.  Dia kemudian meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meninjau ulang hasil verifikasi PT Sucofindo, surveyor resmi yang ditunjuk Kemendag, terkait klaim pembayaran selisih harga ke pelaku usaha. Sebab, dalam paparan yang disampaikan Zulhas dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI awal Juni 2023, jumlah yang terverifikasi oleh PT Sucofindo sebesar Rp474,80 miliar atau 58,43% dari total nilai yang diajukan oleh 54 pelaku usaha sebesar Rp812,72 miliar. Perbedaan hasil verifikasi ini terjadi lantaran mayoritas pelaku usaha tak melengkapi bukti penjualan sampai ke pengecer, biaya distribusi, dan ongkos angkut yang tidak dapat diyakini, dan penyaluran maupun rafaksi melebihi 31 Januari 2022. Namun, BPKP tak menyanggupi permintaan tersebut lantaran hasil verifikasi PT Sucofindo sudah sesuai dengan kaidah-kaidah sehingga tidak perlu diaudit ulang.  Kemudian, sesuai arahan dari Kemenko Polhukam, Kemendag berencana untuk menggelar pertemuan dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) untuk membahas masalah tersebut. Sayangnya, hingga memasuki tahun kedua, kedua kementerian tak kunjung menggelar pertemuan yang dimaksud. Bisnis bahkan sudah mencoba mengonfirmasi ihwal kelanjutan rafaksi minyak goreng ke Deputi Menko II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Dida Garendra, tapi tidak mendapat respons hingga saat ini. (bl)


Silahkan Login untuk Memberikan Komentar!