Simak Lagi! Kewajiban Soal TP Doc dan Pemakaian NPWP Format Baru

, 24 20-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow

JAKARTA, DDTCNews - Ketentuan peralihan soal Prosedur Persetujuan Bersama, Kesepakatan Harga Transfer, dan Dokumen Penentuan Harga Transfer turut diatur dalam PMK 172/2023. Topik ini cukup mendapat sorotan netizen dalam sepekan terakhir.  Seperti diketahui, PMK 172/2023 mencabut 3 PMK terdahulu, yakni PMK 213/2016, PMK 49/2019, serta PMK 22/2020. PMK 172/2023 sekaligus memuat sejumlah ketentuan peralihan mengenai transfer pricing yang sebelumnya diatur dalam ketiga PMK terdahulu. Adapun ketentuan peralihan yang berisi 3 poin dimuat dalam Pasal 73 PMK 172/2023. Pertama, terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) berdasarkan pada PMK 49/2019 dan belum diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama ditindaklanjuti berdasarkan pada PMK 172/2023. Kedua, terhadap permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) yang dilaksanakan berdasarkan pada PMK 22/2020 dan belum diterbitkan surat keputusan pemberlakuan APA, surat keputusan mengenai perubahan APA, atau surat keputusan pembatalan kesepakatan dalam APA ditindaklanjuti berdasarkan pada PMK 172/2023. Ketiga, terhadap kewajiban menyelenggarakan, menyimpan, dan menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer (Dokumen Transfer Pricing/TP Doc) untuk tahun pajak 2024 dan seterusnya dilaksanakan berdasarkan pada PMK 172/2023. Sebelumnya, DJP menyatakan PMK PMK 172/2023 merupakan peraturan turunan dari PP 50/2022 serta PP 55/2022. PMK 172/2023 merupakan kodifikasi dari 3 ketentuan sebelumnya, yakni PMK 213/2016, PMK 49/2019, dan PMK 22/2020. Baca artikel lengkapnya, 'Kewajiban Soal TP Doc Mulai Tahun Pajak 2024 Berdasarkan PMK Ini'. Selanjutnya, isu lain yang juga banyak diperbincangkan warganet adalah kewajiban penyelenggara beberapa layanan untuk menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan format baru. Perlu diketahui, pihak lain harus menggunakan NIK sebagai NPWP serta NPWP 16 digit dalam layanannya mulai 1 Juli 2024. Ketentuan tersebut sudah diatur dalam PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023. Adapun pihak lain yang dimaksud adalah penyelenggara layanan administrasi yang mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). “Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2024 … pihak lain … harus menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP dan NPWP dengan format 16 digit dalam layanan dimaksud,” bunyi penggalan Pasal 11 ayat (1) huruf c PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023. Sebagai informasi kembali, waktu berlakunya penggunaan NIK sebagai NPWP serta NPWP 16 digit itu mundur dari ketentuan sebelumnya mulai 1 Januari 2024.  Adapun layanan administrasi dari pihak lain itu terdiri atas layanan pencairan dana pemerintah, layanan ekspor dan impor, serta layanan perbankan dan sektor keuangan lainnya. Kemudian, ada layanan pendirian badan usaha dan perizinan berusaha, layanan administrasi pemerintahan selain yang diselenggarakan Ditjen Pajak (DJP), serta layanan lain yang mensyaratkan penggunaan NPWP. Baca artikel lengkapnya, '1 Juli 2024, Penyelenggara Layanan Ini Wajib Pakai NPWP Format Baru'. Selain 2 topik di atas, masih ada sejumlah pemberitaan yang menarik untuk disimak kembali. Di antaranya, perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai outsource, pengukuhan PKP bagi wajib pajak beromzet tak sampai Rp4,8 miliar, polemik pajak hiburan, hingga layanan aplikasi DJP yang tak bisa diakses sementara waktu pada akhir pekan ini.  Pegawai outsource dapat dikategorikan sebagai pegawai tetap dalam konteks penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Hal ini lantaran pengertian pegawai dalam konteks PPh sedikit berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Adapun pegawai outsource bisa dikategorikan sebagai pegawai tetap sepanjang memenuhi pengertian pegawai tetap dalam ketentuan PPh. Pengertian pegawai tetap pada konteks PPh di antaranya tercantum dalam Pasal 1 angka 10 PMK 168/2023. Merujuk pasal tersebut, pengertian pegawai tetap adalah sebagai berikut. "Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut," bunyi Pasal 1 angka 10 PMK 168/2023. Pengusaha dengan omzet tahunan belum melampaui Rp4,8 miliar atau pengusaha kecil boleh melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) sebagaimana diatur dalam PMK 164/2023. Agar dikukuhkan sebagai PKP, pengusaha kecil perlu melaporkan usahanya dan menyampaikan pemberitahuan mengenai masa pajak untuk mulai memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terutang kepada kantor pajak. "PKP…wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang mulai masa pajak yang dikehendaki untuk mulai memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM, yang tercantum dalam pemberitahuan," bunyi pasal 21 ayat (5). UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) memuat tarif minimal sebesar 40% untuk pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu Lydia Kurniawati mengatakan tarif minimal sebesar 40% ditetapkan karena kelima jasa hiburan tersebut perlu dikendalikan konsumsinya. "Hiburan tertentu tadi pasti dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, untuk memberikan rasa keadilan dalam upaya mengendalikan, dipandang perlu untuk memberikan tarif batas bawahnya," katanya. DJP mengumumkan layanan aplikasi DJP tidak dapat diakses sementara waktu oleh masyarakat, pada akhir pekan ini. DJP menyatakan aplikasi web pajak.go.id tidak dapat diakses untuk sementara pada Minggu (21/1/2024) pukul 06.00 WIB sampai dengan Senin (22/1/2024) pukul 06.00 WIB. Waktu henti (downtime) tersebut dilakukan untuk pemeliharaan infrastruktur TIK DJP. "Kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi," bunyi pengumuman DJP. DJP menyatakan telah menyediakan fitur Kalkulator Pajak untuk menghitung berbagai macam pajak, termasuk PPh Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan fitur Kalkulator Pajak dikembangkan untuk memudahkan wajib pajak melakukan penghitungan. Kalkulator ini dirilis setelah DJP melakukan serangkaian tes. "Fitur Kalkulator Pajak sudah dapat diakses pada situs pajak.go.id," katanya. (sap)


Silahkan Login untuk Memberikan Komentar!