Home »
DDTC NEWS » Soal Putusan Pemeriksaan Bukper, Ada 3 Hakim MK Dissenting Opinion
Soal Putusan Pemeriksaan Bukper, Ada 3 Hakim MK Dissenting Opinion
, 24 15-0 | 00:00:00 WIB - Oleh Scraping Airflow
JAKARTA, DDTCNews - Ada 3 hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXI/2023. Ketiga hakim yang dimaksud antara lain Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, dan Saldi Isra.
Menurut Daniel, ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP tidaklah bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana yang didalilkan pemohon.
"Dengan demikian, permohonan para pemohon sudah seharusnya dinyatakan ditolak," tulis Daniel dalam dissenting opinion-nya, dikutip pada Kamis (15/2/2024). Menurut Daniel, undang-undang pajak termasuk ketentuan pidana di bidang perpajakan memiliki karakter khusus yang bersifat sistematis atau lex specialis systematis.
Terdapat 3 ukuran yang menjadi parameter suatu undang-undang dikategorikan sebagai lex specialis systematis. Pertama, ketentuan hukum yang diatur di dalam materi muatan undang-undang tersebut berbeda dengan ketentuan hukum pada umumnya.
Kedua, ketentuan hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut juga mengatur ketentuan hukum pidana materil dan formil tetapi berbeda dari ketentuan pada umumnya. Ketiga, subjek dan/atau adressat hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut sangat bersifat khusus. Undang-undang perpajakan dinilai telah memenuhi ketiga kualifikasi tersebut karena di dalamnya terdapat sanksi administratif dan pidana. Norma tindak pidana dalam undang-undang perpajakan dirumuskan dengan pendekatan nilai ekonomis guna meningkatkan penerimaan negara.
Sementara itu, Guntur dan Saldi dalam dissenting opinion-nya menyatakan pengujian materiil atas Pasal 43A ayat (1) UU KUP seharusnya ditolak. Kewenangan pemeriksaan bukper dalam pasal tersebut valid dan konstitusional karena diatur dalam undang-undang yang disetujui DPR.
"Kami berpendapat permohonan para pemohon sepanjang pengujian Pasal 43A ayat (1) UU HPP seharusnya ditolak," tulis Gundu dan Saldi. Namun, Guntur dan Saldi menilai Pasal 43A ayat (4) UU KUP bersifat inkonstitusional bersyarat karena memberikan pendelegasian kewenangan yang terlampau besar kepada dirjen pajak guna mengatur tata cara pemeriksaan bukper melalui peraturan menteri keuangan (PMK).
Menurut Guntur dan Saldi, PMK 177/2022 secara substansi memiliki karakter yang bersifat memaksa dari petugas pemeriksa, membatasi hak dan kebebasan wajib pajak, dan berujung pada terlampauinya batasan ruang lingkup Pasal 43A ayat (4) UU KUP.
"Pembatasan hak dan kebebasan warga negara demikian seharusnya hanya boleh diatur dalam undang-undang bukan peraturan yang bersifat teknis-administratif in casu PMK 177/2022," ungkap Guntur dan Saldi. Untuk diketahui, MK melalui Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023 menyatakan frasa pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan dalam Pasal 43A ayat (1) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak terdapat tindakan upaya paksa.
Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 43 ayat (4) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak melanggar hak asasi wajib pajak. (rig)